UAS Sociological
Academic Skills
“Memperbincangkan Pengetahuan? Disiplin Sosiologi Juga
Punya Sejarah”
Oleh
: Fania Alif Rusdianti (155120100111004), A1-Sosiologi, FISIP, Universitas
Brawijaya
Pengetahuan itu penting diketahui.
Tidak ada suatu pengetahuan yang berkembang jika tidak ada latar belakangnya. Latar
belakang itulah yang sedang dicari oleh Geger Riyanto, seorang sosiolog yang
berusaha mengupas sejarah sosiologi di Indonesia. Kini di abad-21, sosiologi
menjadi banyak dipelajari di ranah Perguruan Tinggi. Dalam jurnal artikel
Riyanto yang dimuat redaksi Jurnal Sosiologi MASYARAKAT tahun 2012 dengan judul “Memperbincangkan
Sejarah-sejarah Mikro Disiplin Sosiologi”, sedikit mencerahkan sejarah sosiologi
di Indonesia.
Mendengar sebuah judul yang diangkat
Riyanto tersebut, membuat penulis berfikir apakah sosiologi itu berawal begitu
saja? Ataukah karena ada kepentingan darurat yang membutuhkan penanganan untuk segera
diatasi? Lalu, motif apa yang mendasarinya? Beraneka pertanyaan inilah yang
menjadi dasar mengapa artikel ini ada dan patut untuk dibaca sebagai
pengetahuan.
Riyanto memakai dua literatur karya
Haney dan Gilman yang dijadikan sebagai tesis yang membahas perkembangan ilmu
sosial di Amerika pada dekade 1940-1960an. Keduanya berperan dalam meng’ada’kan
pengetahuan mengenai sejarah disiplin sosiologi, yang dapat penulis
identifikasikan sebagai berikut:
1.
Karya
Haney
Sebuah
buku 284 halaman yang ditulis oleh David Haney pada tahun 2008 dengan judul The Americanization of Social Science:
Intellectuals and Public Responsibility in the Postwar United States
mengulas geliat pembentukan ilmu sosial di tingkatan organisasional.
Lagi-lagi,
Haney juga mencoba mencari asal-usul mengapa sosiologi menjadi profesi yang
eksklusif dan terpisah publik Amerika Serikat. Inilah bukti kedua yang penulis
temukan, betapa sejarah itu memanglah patut untuk dipelajari.
Dapat
diketahui arah teori dan metode dalam sosiologi dengan adanya pergulatan
merebut legitimasi keilmuan, kekuasaan yang menciptakan gaya tarik-menarik yang
membentuk sosiologi. Haney berusaha menegaskan arti penting riset empiris dan
memperlihatkan metode kuantitatif. Tidak itu saja, kita juga bisa menemukan
dinamika lain seputar dalam memapankan profesi dan ilmu ini.
Di
bagian akhir, Haney bersikap tidak bersimpati pada gagasan sosiologi semata
melainkan tetap tegas berpendirian sebagai peneliti. Meskipun demikian, karya
Haney ini cukup memberi pencerahan masa lalu ilmu sosial di Amerika Serikat dan
hal-hal di balik wajah disiplin ilmu sosiologi.
2.
Karya
Gilman
Sebuah
buku 329 halaman yang berjudul Mandarins
of the Future: Modernization Theory in Gold War America ditulis oleh Nils
Gilman setahun sebelum karya Haney di atas terbit. Buku ini mengulas tentang
bagaimana lembaga ilmu sosial terlibat memberikan bahasa ilmiah bagi pandangan
dunia negara Amerika Serikat.
Dapat
diketahui arah teori dan metode sosiologi yang populer tersebut dengan bagaimana
aktor dan lembaga ilmu sosial Amerika cekatan merumuskan modernisme dalam wujud
teori yang disusupi oleh kepentingan global Amerika Serikat itu sendiri.
Seperti Edward Shils yang mengartikan modernitas adalah kondisi yang ‘demokratis
dan setara, ilmiah, maju secara ekonomi dan berdaulat’.
Gilman
membahas mengenai wacana pembangunan Amerika Serikat yang merambahi ilmu sosial
dan bagaimana iklim politik memunculkan ketertarikan kepada dunia akademik. Ia
terkesan berusaha mengetengahkan modernisasi sebagai delusi. Dengan jelas,
Gilman menyampaikan bahwa ambisi buku ini menjadi sejarah mikro teori
modernisasi. Ia juga memperhatikan dengan betul proses pembentukan gagasan yang
ditempatkan dalam konteks sosial-politiknya.
Dibalik uraian kedua tesis di atas,
adapun tabel yang bisa penulis sajikan:
Ò
Perbedaan
yang mendasar :
Perbedaan
|
Karya Haney
|
Karya Gilman
|
Bahan pembahasan
|
Memaparkan kutipan pernyataan para
aktor yang berbeda untuk merangkai potret jernih perkembangan keorganisasian
sosiologi.
|
Mendalami karya-karya teoritis lalu
menarik relasi ide dengan situasi ekonomi-politik yang lebih mengandalkan
analisis spekulatif.
|
Gaya
penulisan
|
Bisa menggambarkan situasi genting
yang dialami ilmu sosial pada saat itu dengan meyakinkan.
|
Sering terkesan tidak jelas apa yang
terjadi pada lembaga dan aktor keilmuan ini, sehingga terlibat dalam wacana besar
|
Ò Adapula persamaannya:
Persamaan
|
Karya Haney dan Gilman
|
Deteksi
karya
|
Keduanya merupakan karya sosiologi
yang mantap, dimana penempatan subjek dan struktur pada tepat pada keberadaan
dan proporsi masing-masing.
|
Efek
kepada pembaca
|
Dengan membaca buku-buku itu
menjadikan orang tidak beranggapan bahwa proses kognitif intens subjek
sebagai fakta yang tidak berarti.
|
Hal
yang dipertahankan
|
Berusaha menjaga kualitas, dan
memberikan pesan penting bahwa ‘sosiologi pengetahuan tidak bisa mengabaikan
arti pengetahuan itu sendiri ataupun memalingkan mata dari proses sosial yang
selalu memintalnya’.
|
*dikutip
dari artikel (Riyanto, 2012)
Memperbincangkan pengetahuan dan
sejarah disiplin sosiologi, tidak lengkap rasanya jika tidak membahas kondisi
sosiologi di Indonesia. Meskipun dua tesis ini memiliki fokus dan batasan
tertentu, keduanya berperan penting dalam memperlihatkan jejak perjalanan yang
diambil institusi sosiologi di masa lalu.
Studi sosiologi di Indonesia dirintis
oleh ilmuwan sosial seperti Selo Soemardjan, Koentjaningrat dengan dibantu lembaga
ilmu sosial. Studi ini sangatlah dipengaruhi oleh tata cara dan batasan
berpikir paradigma sosiologi pada tahun 1950-an dari negara asalnya. Adapula Soerjono
Soekanto yang banyak menyajikan buku kumpulan kuliah sosiologi.
Tidak perlu lagi sulit untuk membuat
abstraksi bentuk sosiologi (Riyanto, 2012). Karena telah adanya kesepadanan dan
keselarasan sosiologi di penjuru dunia manapun, akarnya tetap di Amerika.
Misalnya saja di Indonesia, pandangan Selo Sumardjan dan Edward Shils hampir
serupa.
Lantas, bagaimana dengan sejarah mikro
disiplin sosiologi? Buku The Americanization of Social Science dan Mandarins of the Future berkontribusi
dalam membangun perspektif yang akhirnya sangat menentukan cara berpikir
sistematik dalam mengkaji sejarah disiplin ilmu.
Sejarahnya, pada tahun 1940-an kecaman
dan serangan panas ditujukan kepada ilmu sosial, banyak yang tidak setuju
adanya jatah anggaran bagi riset ilmu sosial. Dalam pidato, Parsons
mengungkapkan kegagalan riset empiris dalam membangun badan ilmu pengetahuan
yang utuh. Parsons berpendapat bahwa sosiologi pada dasarnya merupakan suatu
disiplin intelektual (Soekanto, 1986). Menurutnya, hanya
fisikalah disiplin ilmu yang utuh. Namun, ia berharap Harvard Departement of
Social Relations dapat membantunya ke arah itu. Perdebatan dalam mempertahankan
ihwal kedudukan sosiologi pun tidak mudah, diserang oleh mereka yang menganggap ilmu
sosial itu ilmu yang tidak berkontradiksi dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Mungkin selama ini kita berpikir ilmu
sosial memiliki jalan mulus, namun ternyata tidaklah semulus yang dibayangkan.
Begitulah sejarah disiplin ilmu sosiologi yang perlu untuk diketahui sebagai
pengetahuan.
Sumber Referensi
Riyanto, G. (2012). Memperbincangkan Sejarah Mikro
Disiplin Sosiologi. Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, 84-98.
Soekanto, S. (1986). TALCOTT PARSONS,
FUNGSIONALISME IMPERATIF. Jakarta: Rajawali.
TERIMAKASIH :)
“Memperbincangkan Pengetahuan? Disiplin Sosiologi
Juga Punya Sejarah”
Disajikan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester 1
Mata Kuliah : Sociological Academic Skills
Dosen Pengampu : Anton Novenanto
Senin, 4 Januari 2016
Penulis,
Fania Alif Rusdianti
NIM. 155120100111004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar